Selasa, 18 Desember 2012

GRASI KETIKA MANUSIA MENJADI WAKIL TUHAN



Dalam kesempatan kali ini saya akan mencoba memberikan sedikit tulisan tentang kaitannya dengan kefalsafahan dalam kaitannya dengan berita terkini yang sedang berkembang. Dalam tulisan ini saya mencoba mengangkat topik ketika MANUSIA menjadi WAKIL TUHAN. Walau cuma sedikit yang bisa saya share semoga dapat bermanfaat. Sedikit tapi bermakna, Kecil tapi Luar Biasa. 
Untuk mendownload sumber-sumber file dapat diperoleh dengan KLIK alamat di BAWAH ini :

Saya memang bukan orang yang pintar atau cerdas atau bahkan waaah ataupun Luar Biasa, tapi saya tahu ukuran kancing yang pas untuk baju saya. 
Catatan :
Mohon maaf sebelumnya seyogyanya apabila ADA tulisan-tulisan yang jenengan cuplik dari sini saya dengan sangat mengharapkan untuk terbiasa menerapkan budaya MENCANTUMKAN sumber INI dalam daftar pustaka jenengan. Matur nuwun. HIDUP MAHASISWA...

  
--------------------------------------------------------------------------------------------------



STUDI KASUS
KETIKA PRESIDEN MENJADI WAKIL TUHAN DALAM PEMBERIAN GRASI KEPADA TERPIDANA NARKOBA


MAKALAH







HERMAWAN PRABOWO



DEPARTEMEN FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2012


---------------------------------------------------------------------------------------------------------




 
STUDI KASUS
KETIKA PRESIDEN MENJADI WAKIL TUHAN DALAM PEMBERIAN GRASI KEPADA TERPIDANA NARKOBA


MAKALAH






HERMAWAN PRABOWO
080810454


DEPARTEMEN FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2012


-------------------------------------------------------------------------------------------------------


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat, hidayah dan pertolongan-Nya, serta sholawat serta salam tertujukan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan tuntunan sehingga penyusunan makalah dengan  judulStudi Kasus Ketika Presiden Menjadi Wakil Tuhan Dalam Pemberian Grasi Kepada Terpidana Narkoba telah diselesaikan dengan harapan semoga makalah ini bias bermanfaat dan menjadikan referensi bagi kita sehingga lebih mengenal tentang apa itu grasi sekaligus bahaya apabila dalam penegakkan hukum di Indonesia mendapat pengaruh mafia. Makalah ini juga disusun sebagai salah satu syarat kelulusan pada Mata Kuliah Filsafat Ilmu dan Logika pada Program Studi Fisika Departemen Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga..
Penulis menyadari bahwa di dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberi manfaat dan informasi ilmiah bagi Para Mahasiswa, Pelajar, Umum dan khususnya pada diri saya sendiri dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Semua pembaca yang membaca makalah ini semoga bisa dipergunakan dengan semestinya.

Surabaya, Desember 2012
Penulis


 Hermawan Prabowo

---------------------------------------------------------------------------------------------------

DAFTAR ISI
                                                      
                                                                   Halaman
LEMBAR JUDUL .......................................................................................  i
KATA PENGANTAR................................................................................... ii
DAFTAR ISI ..............................................................................................  iii
BAB I    PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang .......................................................................  1
1.2    Rumusan Masalah ..................................................................  8
1.3    Tujuan Penelitian ....................................................................  9

11
 
1.4    Manfaat Penelitian.................................................................... 9
BAB II.. PEMBAHASAN
2.1    Narkoba Dalam Presfektif Agama Islam ...............................  11
2.2    Perkembangan Penerapan Grasi ...........................................  13
2.3    Pengertian Grasi ...................................................................  14

23
 
2.4    Dasar Hukum Grasi ..............................................................  15
BAB III PENUTUP
3.1    Kesimpulan ...........................................................................  23

26
 
3.2    Saran ....................................................................................  25
DAFTAR PUSTAKA



--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


BAB I
PENDAHULUAN

1.1          Latar Belakang Masalah
Sejak dahulu Indonesia terkenal sebagai Negara yang memiliki segudang rempah-rempah. Banyak pedagang asing yang datang ke Indonesia hanya untuk mendapatkan hasil rempah-rempah secara langsung, seperti pala, cengkeh dan lada langsung dari sumbernya. Sampai para pedagang yang semula hanya berdagang menjadi penjajah di Negara kita.
Setelah Indonesia mengusir para kaum imperialis dan memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, maka terkenalnya Indonesia akan kaya rempah-rempah mulai berkurang. Dari waktu ke waktu rempah-rempah yang seharusnya menjadi penyedap rasa, sehingga menjadi barang yang membuat candu. Struktur tanah di Indonesia yang subur dan iklim yang pas untuk tumbuhnya tanaman candu seperti ganja, merupakan salah satu ciri bahwa sejak dulu narkoba jenis narkotika ini telah ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Beberapa area tanah yang subur dan memadai untuk ditanami tanaman ganja tersebut, telah disalahgunakan oleh beberapa oknum aparat Negara dan masyarakat dalam menumbuh suburkan tanaman tersebut. Di Aceh, dana operasional Gerakan Aceh Merdeka (GAM) konon juga disuport dari lading-ladang ganja yang luas dan subur. Aceh merupakan satu wilayah di Indonesia yang cocok ditanami ganja, dan pasti tumbuh subur disana.
Penyalahgunaan narkotika dan psikotropika muncul di media masa, baik di koran-koran, majalah, televisi, radio maupun internet. Bukan rahasia umum jika masalah narkotika dan psikotropika saat ini telah merasuki semua elemen bangsa.  Pengedar dan pengguna narkoba bukan dari kelas bawah, atau masyarakat biasa saja. Akan tetapi kini banyak ditemui beberapa kasus para elit politik, anggota legislatif, para artis dan pejabat pemerintah, bahkan kalangan politisi dan penegak hukum juga tidak steril dari penyalahgunaan narkotika dan psikotropika.
Ini adalah ironi dimasa orde reformasi atau orde paling baru. Narkoba seperti layaknya gaya hidup yang rupanya mampu menggoda para penggunanya seperti barang yang biasa. Dalam era yang dikatakan lebih maju ini narkoba telah menjadi trend dan komoditas menggiurkan.
Sehingga upaya pemberantasannya tidak cukup hanya ditangani oleh pemerintah dan aparat penegak hukum saja melainkan perlu melibatkan seluruh potensi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pencegahan dan pemberantasan terhadap penyalahgunaan dan peredaran narkotika dan psikotropika.
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika dan psikotropika ibarat pedang bermata dua, disatu pihak sangat dibutuhkan dalam dunia medis dan ilmu pengetahuan, dipihak lain penyalahgunaannya sangat membahayakan masa depan generasi muda, ketentraman masyarakat dan mengancam eksistensi ketahanan nasional suatu bangsa.
Dalam konsideran menimbang Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, dinyatakan bahwa mengimpor, mengekspor, memproduksi, menggunakan narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat, serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah kejahatan karena sangat merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia, masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional Indonesia.
Mengingat kejahatan narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan modus operandi yang tinggi dan teknologi canggih, sehingga dalam penegakan hukumnya pun memerlukan suatu cara yang juga luar biasa untuk mencegah dan memberantasnya.
Di samping masalah narkotika, hal yang tidak kalah mendesak untuk segera dilakukan upaya penegakan hukumnya adalah kejahatan yang berkaitan dengan psikotropika. Penyalahgunaan psikotropika dapat merugikan kehidupan manusia dan kehidupan bangsa, sehingga pada gilirannya dapat mengancam ketahanan nasional.
Perkembangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika telah menjadi permasalahan dunia yang tidak mengenal batas negara, juga menjadi bahaya global yang mengancam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara dimana saja selain terorisme. Negara-negara maju dan Indonesia telah menjadikan narkotika dan psikotropika dan terorisme sebagai musuh dunia yang harus diperangi, dan bagi negara-negara yang tidak serius dalam menanggulangi kedua masalah tersebut, akan dipandang sebagai penghambat bahkan dipandang sebagai musuh yang harus diperangi juga.
Seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan pengaruh negatif globalisasi, posisi Indonesia yang sangat strategis pada posisi silang justru menjadi surga bagi sindikat perdagangan gelap narkotika dan psikotropika. Hal ini disebabkan karena beberapa alasan, diantaranya: jumlah penduduk yang banyak sangat potensial menjadi pasar peredaran, wilayah negara yang terdiri dari kepulauan menyebabkan adanya kesulitan bagi aparat penegak hukum untuk melakukan pengawasan. Saat ini narkotika dan psikotropika menjadi masalah internasional yang sangat kompleks, rumit dan kronis, serta berkembang sangat cepat diluar prediksi aparat keamanan, walaupun telah banyak kasus yang berhasil diungkap.
Masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika di Indonesia menunjukkan adanya kecenderungan yang terus meningkat, sudah sangat memprihatinkan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Indonesia sebagai tempat transit dalam perdagangan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika, tetapi telah menjadi tempat pemasaran dan bahkan telah menjadi tempat untuk produksi gelap narkotika dan psikotropika.
Pencegahan dan pemberantasan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika di Indonesia, memerlukan upaya sinergis yang komprehensif multi dimensional, sehingga dapat mencapai hasil yang maksimal. Upaya ini dilaksanakan secara bertahap, konsisten, dan berkelanjutan, hingga mencapai kondisi Indonesia yang bebas dari penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika.
Tindak pidana narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan merupakan suatu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapih dan sangat rahasia baik ditingkat nasional maupun internasional.
Secara diam-diam Presiden telah memberikan grasi kepada tiga gembong narkoba yang terpidana hukuman mati. Pada 26 September 2011, melalui Kepres Nomor : 35/G/2012, memberikan grasi kepada Deni Setia Maharwan alias Rapi Mohammed Majid. Pada tahun 2012 terdapat dua kasus hukum yang menjadi polemik. Selasa, 15 Mei 2012, Presiden mengeluarkan Keputusan Nomor 22G Tahun 2012 yang mengabulkan permohonan grasi terpidana 20 tahun, Schapelle Leigh Corby, warga Negara Australia yang tenar dengan sebutan ratu mariyuana. Grasi itu berupa pemotongan pidana selama 5 tahun.
Dan yang paling heboh, 25 Januari 2012, Presiden SBY memberikan grasi kepada terpidana mati kasus narkoba, Meirika Franola alias Ola, 42 tahun. Ola diduga menjadi otak penyelundupan sabu seberat 775 gram dari India ke Indonesia, melalui seorang kurir, NA, 40 tahun, dengan menumpang pesawat. NA, seorang ibu rumah tangga, ditangkap petugas Badan Narkotika Nasional (BNN) di Bandara Husein Sastranegara Bandung, Jawa Barat, pada 4 Oktober. Pada Agustus 2000, Ola bersama dua sepupunya, Deni Setia Maharwa alias Rafi Muhammed Majid dan Rani Andriani, divonis hukuman mati.
Vonis hukuman mati yang dijatuhkan kepadanya berkekuatan hukum tetap  setelah Mahkamah Agung menolak peninjauan kembali kasusnya pada 27 Februari 2003. Mereka terbukti bersalah menyelundupkan 3,5 kg heroin dan 3 kg kokain melalui Bandara Soekarno-Hatta ke London pada 12 Januari 2000. Ola mendapatkan grasi dari Presiden sehingga hukuman mati yang dijatuhkan kepadanya menjadi hukuman seumur hidup.
Keputusan itu pun melahirkan polemik dan menambah kritik terhadap pemerintahan SBY. Grasi itu dikhawatirkan menjadi preseden buruk dan berdampak terhadap terpidana narkotika lainnya. Ola yang masih mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Tangerang belakangan ditengarai  terlibat lagi dan bahkan mengotaki peredaran narkoba dengan jaringan dari luar negeri.
Berdasarkan Peraturan Presiden telah dibentuk sebuah lembaga non struktural yaitu Badan Narkotika Nasional yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden bertujuan untuk lebih mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Psikotropika. Adanya keputusan pemberian Grasi oleh Presiden tersebut jelas bertentangan dengan tekad pemerintah dalam pemberantasan Narkotika.
Beberapa ahli hukum ramai-ramai menyuarakan terdapat kejanggalan atas pemberian keputusan mengabulkan permohonan grasi. Pemberian grasi dinilai bertentangan dengan asas pengelolaan pemerintahan yang baik dan pemerintah dinilai tidak peka terhadap perasaan keadilan masyarakat yang banyak dicederai oleh peredaran dan penyalahgunaan narkotika, serta tidak konsisten dalam melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan narkotika. Presiden sebagai pemberi Keputusan grasi dinilai tidak cermat dalam mengambil keputusan.  Banyak pihak menilai ada peran mafia narkoba yang begitu kuat masuk dalam ranah pemberian grasi di lingkungan Istana.
Padahal untuk dapat memberantas kejahatan narkotika dan psikotropika dibutuhkan materi hukum yang baik diantaranya adalah adanya undang-undang yang mampu menampung penanganan setiap modus operandi pelaku yang sangat pesat inovasinya, dan yang lebih penting adalah konsistensi aparat penegak hukum dalam penegakan hukum terkait kejahatan narkotika dan psikotropika. Nyatanya, undang-undang dan aparat penegak hukum bahkan hingga tingkat Mahkamah Konstitusi pun dibuat tidak berdaya behitu hak prerogatif yang dimiliki Presiden dikeluarkan. Lantas kepada siapa keadilan hukum di Negara ini bisa kita peroleh? Kepada mafia hukum atau kepada siapa?
Saya masih ingat pada sambutan peringatan Hari Narkoba Internasional tahun 2006, SBY dalam pidatonya mengungkapkan “ Pemerintah tidak akan  mengampuni narapidana kasus narkoba, Saudara ketua Mahkamah Agung saya sendiri tentu memilih untuk keselamatan bangsa dan Negara kita. Memilih keselamatan generasi kita, generasi muda kita dibandingkan memberikan grasi kepada mereka yang menghancurkan masa depan bangsa “.
“ Pemerintah “ kata SBY menegaskan “  tidak akan memberi toleransi kepada para pembuat dan pengedar narkoba. Pemerintah telah dan akan terus melakukan penegakan hukum tanpa pandang bulu. Para pelaku kejahatan narkoba dengan segala bentuk dan modus operandinya akan terus kita lawan dengan sekuat tenaga “.
Tujuh tahun sudah Presiden mengucapkan kata-kata yang ingin menyelamatkan bangsa dan Negara ini dari peredaran Narkoba yang masuk ke Negara Indonesia yang dilakukan oleh gembong-gembong Narkoba dari luar negeri. Tapi kok tiba tiba saja dengan berdalih Hak Azasi Manusia (HAM) Presiden kita malah memberikan grasi kepada para Bandar Narkoba. Dimana ucapan satria seorang Presiden dalam melakukan pembelaan terhadap kerusakan bangsa dan Negara oleh pengaruh Narkoba itu? Yang tragisnya terbongkarnya adanya grasi yang diberikan oleh Presiden kepada gembong-gembong Narkoba itu bukan terungkap dari Istana, maupun dari Presiden sendiri. Tapi melainkan terungkapnya adanya grasi yang diberikan oleh Presiden adalah  dari Mahkamah Agung dan Media Massa Australia.
Dalam Negara demokrasi, polemik terhadap keputusan Presiden adalah hal yang biasa dan justru diperlukan sebagai sarana kontrol sekaligus pembelajaran baik bagi penyelenggara Negara maupun bagi masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut tentu diperlukan pandangan jernih dan berimbang dengan mengkaitkan itu semua dengan aturan hukum yang berlaku.
Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada latar belakang tersebut di atas, maka menarik untuk dibahas dalam sebuah makalah yang berjudul: “Studi Kasus Ketika Presiden Menjadi Wakil Tuhan Dalam Pemberian Grasi Kepada Terpidana Narkoba”.
1.2          Rumusan Masalah
Dari uraian pada latar belakang permasalahan, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1.    Bagaimanakah kewenangan Presiden dalam pemberian Grasi?
2.    Apakah alasan Presiden memberikan Grasi?
3.    Apakah Presiden sudah melakukan pertimbangan yang cukup matang untuk melaksanakan kewenangannya dalam memberikan Grasi?
1.3          Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah tersebut  di atas penulisan makalah ini bertujuan sebagai berikut :
1.    Mampu memaparkan kewenangan Presiden dalam memberikan grasi dengan memperhatikan pertimbangan dari lembaga hukum terkait .
2.    Memberikan pandangan jernih dan berimbang dengan mengkaitkan kriteria pemberian grasi dengan aturan hukum yang berlaku .
3.    Memberikan pandangan tentang pertimbangan-pertimbangan yang diterima Presiden dalam membuat keputusan.
1.4         Manfaat Penelitian
Disamping tujuan sebagaimana telah diuraikan di atas, penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang optimal. Apakah itu sebagai sumbangan pemikiran teoritis maupun manfaat secara praktis berkenaan dengan masalah penegakan hukum dan keadilan dalam kaitannya dengan pemberian grasi oleh Presiden kepada terpidana mati kasus narkoba.
1.      Segi teoritis, makalah ini diharapkan akan bermanfaat untuk :
  • Studi hukum tentang hubungan penerapan hukuman dengan masalah hak asasi manusia.
  • Sebagai informasi bagi para peneliti yang merupakan wahana paling efektif untuk mengkaji, menguji dan menerapkan teori-teori yang didapatkan, kemudian dianalisis dengan kenyataan yang terjadi.
  • Bagi ilmu pengetahuan diharapkan makalah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi mereka yang ingin mengadakan penelitian lanjutan dari makalah ini.
2.      Segi praktis, makalah ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan untuk :
Memberikan masukan dan menjadi suatu dorongan bagi aparat penegak hukum agar dapat menerapkan hukum dalam hal ini pemberian grasi kepada terpidana mati agar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan memperhatikan prinsip-prinsip keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.





----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


BAB II
PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dijelaskan teori dan konsep yang mendukung tulisan makalah ini, diantaranya tentang pengertian narkoba, grasi serta teori-teori pendukung lain yang diperlukan.
2.1         Narkoba Dalam Presfektif Agama Islam
Narkoba singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan bahan-bahan adiktif. Sedangkan secara istilah narkoba adalah obat, bahan, atau zat dan bukan tergolong makanan jika diminum, diisap, dihirup, ditelan atau disuntikkan, bepengaruh terutama pada kerja otak dan sering menyebabkan ketergantungan [1]. Akibatnya kerja otak berubah meningkat atau menurun demikian pula fungsi organ tubuh lain. Makanya narkoba tergolong racun bagi tubuh, jika digunakan tidak sebagaimana mestinya.
Agama-agama besar dunia ternyata lahir tidak jauh dari sumber penghasil bahan yang sekarang digolongkan sebagai narkotika. Tiga abad sebelum Nabi Isa lahir, opium sudah dipergunakan sebagai obat di Mesir, bahkan dijadikan lambing mata uang. Di Mesir opmium sebagai obat penenang atau obat tidur.
Sementara itu di Asia pada abad kelima Masehi, untuk meraih kesenangan dan kegembiraan mereka mengkomsumsi ganja. Dalam lintas budaya ganja mampu mengubah budaya suatu bangsa, hal ini terjadi dan menyebar ke Afrika sampai India [2].
Allah menciptaan bumi dan seisinya ini untuk manusia. Bukan berarti manusia bisa bebas berbuat sesuatu semau mereka. Akan tetapi ada aturan dan batasan tertentu, sehingga akan terjadi kesinambungan di lingkungan maupun masyarakat. Seorang bisa dikatakan bertaqwa kepada Allah jika manusia tersebut menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya.
Narkoba termasuk salah satu yang diharamkan dalam agama. Sifat narkoba yang membuat ketergantungan dan memabukkan menjadi alas an mengapa narkoba diharamkan. Maka harus menjauhinya sejauh mungkin. Manusia secara khusus para pelajar dan mahasiswa dituntut untuk mengetahui narkoba secara lengkap agar mampu menghindar dari dampak buruk narkoba.
Orang yang berpikir, kalau akalnya sehat. Penemuan-penemuan yang hebat berasal dari kerja otak manusia yang berfikir secara sehat, semua itu adalah karunia dari Allah. Maka dari itu manusia dituntut agar menjaga akal mereka. Dengan demikian manusia mampu berfikir dan memakmurkan bumi ini. Sebagaimana telah ditanggungkan kepada manusia bahwa mereka sebagai khalifah di bumi.
Salah satu cara memelihara akal adalah dengan menjauhi narkoba atau minuman keras. Jika hal itu dilanggar maka didalam Islam akan dikenai sanksi yakni berupa hukuman 40 cambuk. Malah khalifah Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib menghukumnya lebih berat, yaitu dengan 80 cambukan [3].
Pengguna narkoba dalam pandangan illmu psikologi dasar, seperti yang ditulis oleh Dr. C. Goerge Boeree. Jika ketidakpatuhan terhadap norma dianggap normal, maka ketidakpatuhan sebenarnya adalah ketidak mampuan individu terhadap situasi atau kondisi tertentu [4].
2.2         Perkembangan Penerapan Grasi
Sejak dulu, grasi telah dikenal dan dipraktekkan oleh para Kaisar atau Raja pada masa monarki absolute. Kaisar atau Raja dianggap sebagai sumber dari segala kekuasaan termasuk di dalamnya kekuasaan dibidang peradilan. Grasi adalah suatu tindak pengampunan yang didasarkan atas kemurahan hati Raja yang mempunyai kekuasaan absolute. Dengan demikian, grasi dianggap sebagai suatu anugerah Raja (vorstelijke gunst), yaitu anugerah Raja yang telah sudi mengampuni yang terhukum.
Dasar pembenar kekuasaan Raja yang memerintah secara absolute. Salah satunya adalah teori teokrasi atau ketuhanan. Pada jaman Yunani, homerus menyatakan bahwa hukum terjelma dalam Themistis dan diterima oleh para Raja dari Dewa Zeus sehingga sumber saklar dari segala keadilan duniawi yang berdasarkan adat dan tradisi [6]. Demikian pula pada jaman Romawi, Ulpianus dengan teori Lex Regia mengemukakan bahwa, pemerintah diserahkan kepada seorang Raja, karena Raja adalah wakil Tuhan dengan persetujuan rakyat.
Sifat grasi seperti diutarakan di atas kemudian mengalami perubahan. Sifat grasi menjadi lebih bersifat satu korelasi atas keputusan hakim, yaitu suatu korelasi yang diadakan berdasarkan alas an-alasan yang diketahui sesudah hakim memutuskan perkara yang bersangkutan [7]. Hal ini merupakan pengaruh dari ajaran-ajaran para ahli hukum, misalnya John Locke, Montesquieu, Thomas Hobbes, J.J. Rousseau di Eropa pada abad ke-17 dan ke-18.
Di Indonesia, pengaturan mengenai prosedur permohonan grasi sudah ada sejak jaman Hindia Belanda. Pada masa tersebut dikenal adanya Gratie Regeling yang diatur dalam Stbld. 1993 Nomor 2 [8].
Setelah Indonesia merdeka, ketentuan mengenai grasi diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 14 dalam Bab Ketiga berbunyi : “Presiden memberii grasi, amnesty, abolisi dan rehabilitasi” [9]. Kemudian seiring berjalannya waktu Undang-Undang yang lama diganti dengan Undang-Undang yang baru, yang bertujuan untuk mengadakan penyesuaian pengaturan mengenai grasi. Sampai pada akhirnya pada tanggal 24 September 2002 Rancangan Undang-Undang Grasi disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menjadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi [10]. Undang-Undang inilah yang menjadi dasar hukum positif pengaturan grasi di Indonesia sekarang.
2.3         Pengertian Grasi
Ditinjau dari sudut bahasa, kata “grasi” berasal dari bahasa latin, yaitu kata gratia yang berarti pengampunan. Grasi dikenal dalam seluruh sistem hukum di seluruh dunia. Di Belgia grasi dikenal dengan istilah genade [8].
R. Soesilo memberiikan pendapat mengenai grasi sebagai berikut :
“Pemberian grasi merupakan salah satu dari wewenang prerogatif Kepala Negara untuk membatalkan seluruhnya atau sebagaian pidana yang telah dijatuhkan atau untuk merubah pidana itu menjadi suatu pidana yang lebih ringan sifatnya (lebih berat tidak dimungkinkan)” [11].
Definisi yang diberikan oleh Utrecht yaitu “menggugurkan hukuman atau sebagian hukuman [12]. Sedangkan menurut pendapat Soetomo, “Grasi merupakan pengampunan dari Presiden kepada terpidana” [13].
Dari berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa grasi tidak menghilangkan unsur kesalahan (schuld) yang melekat pada putusan hakim. Unsur kesalahan dalam putusan hakim itu tetap ada, namun pelaksanaan putusan tersebut dihilangkan atau dikurangi atau jenis hukumannya diubah.
2.4         Dasar Hukum Grasi
Pelaksanaan hukum akhir-akhir ini menimbulkan masalah pada tingkat ketahanan bagi Presiden. Suatu realisasi mempertahankan hak bagi terpidana dipertaruhkan pada tingkat tersebut. Hak konstitusional tersebut berdasar pada Undang-undang Grasi dan perubahannya, terhadap terpidana mati, seumur hidup, dan terpidana paling rendah 2 (dua) tahun), dan hak tersebut tergantung padam terpidana, keluarga kandung serta kuasa hukumnya untuk dapat dimohon grasi melalui prosedural menteri yang mengatur masalah itu.
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang menganut sistem Pemerintahan Presidensil. Dalam sistem Pemerintahan Presidensil ini terdapat hak prerogatif yang dimiliki oleh seorang Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Salah satu hak prerogatif tersebut ada pada kewenangan dalam pemberian Grasi yang tidak bersifat absolut.
Pemberian Grasi oleh Presiden kepada terpidana perlu dibatasi, seperti yang diatur di dalam Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia bahwa, “Presiden memberi Grasi dan Rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung.” Hal ini juga Berkaitan dengan prinsip Checks and Balances serta hubungan kewenangan antara Presiden dan lembaga negara lainnya, mengenai pemberian Grasi yang semula menjadi hak prerogatif Presiden sebagai Kepala Negara, dalam menggunakan kewenangannya dengan memperhatikan pertimbangan dari lembaga negara lain yang memegang kekuasaan sesuai dengan wewenangnya.
Pengaturan Kewenangan Presiden dalam pemberikan Grasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi dengan memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung, Kewenangan Presiden dalam pemberian Grasi perlu memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif, agar terjalin saling mengawasi dan saling mengimbangi antara Presiden dan kedua lembaga negara tersebut dalam hal pelaksanaan tugas kenegaraan. Sehingga dengan adanya peran serta pertimbangan Mahkamah Agung kepada Presiden dalam pemberian Grasi, memberikan batasan kepada Presiden dalam mengunakan kekuasaannnya, sehingga dapat menghindari pemberian Grasi yang berlebihan kepada pelaku kejahatan yang berat.
Kriteria yang dijadikan pertimbangan bagi Presiden dalam pemberian Grasi dan implikasi hukumnya, pertimbangan yang diberikan Presiden berdasarkan atas pertimbangan-pertimbangan lain diluar hukum, termasuk yang menyangkut pertimbangan kemanusiaan dan tetap menjunjung tinggi rasa keadilan dan kepastian hukum.
Pasal 1 ayat 1 bab I Ketentuan Umum Undang-undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi, sebagaimana telah dirubah menjadi UU No. 5 Tahun 2010 menegaskan grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden [14]. Undang-undang Mahkamah Agung ditekankan bahwa Mahkamah Agung memberiikan pertimbangan hukum kepada Presiden dalam permohonan grasi dan rehabilitasi. Konstitusi kita Undang Undang Dasar NKRI Tahun 1945 menekankan bahwa Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
Dalam melaksanakan kehendak tersebut dikatakan Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara, yang tentunya dalam hal ini menteri yang berhubungan dengan urusan Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kecuali putusan pidana mati, yang tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana dan putusan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pemberian grasi oleh Presiden dapat berupa peringanan atau perubahan jenis pidana; pengurangan jumlah pidana; atau penghapusan pelaksanaan pidana. Kasus yang berkaitan dengan masalah grasi, sebagaimana terjadi pada subjek pelaku Corby, warga negara Australia, ditengarai membuat masyarakat, dan para penegak hukum menyampaikan pendapat dan masukan kepada akhir dari peradilan pidana di Indonesia.
Secara yuridis, akhir dari perjalanan Corby, dalam kacamata peradilan pidana tidak dapat dipersalahkan. Hakim telah memutus salah dan diancam seberat-beratnya. Akan tetapi diluar kehendak hukum, dimana Corby mendapat Grasi yang terkabulkan dengan pengurangan jumlah pidana 5 tahun. Hal ini berdampak bahwa secara sosiologis dan filosofis terhadap Sistem Peradilan Pidana itu sendiri, dan penanggulangan kejahatan narkotika tersebut. Pertanyaan yang harus dijawab adalah mengapa demikian, dan mengapa terjadi putusan Grasi, seberapa jauh pengaruhnya terhadap peradilan pidana?
Secara yuridis, campur tangan dalam urusan peradilan di luar kekuasaan kehakiman adalah dilarang. Hanya dikecualikan yakni campur tangan sebagaimana disediakan oleh UUD NKRI Tahun 1945. Begitu bunyi dari Pasal 3 ayat 2 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Campur tangan tersebut kiranya berdasar hukum dan konstitusional yakni hak prerogatif ditangan Presiden berupa pemberian Grasi dan rehabilitasi. Seperti yang pernah disampaikan para cendikiawan hukum bahwa tujuan hukum adalah kepastian, keadilan dan kemanfaatan [15].
Dalam kasus Grasi Corby, kepastian hukum, dan keadilan hukum (normatif) telah dilaksanakan, namun hal ini sangat berpolemik bila ditarik kearah seberapa jauh kemanfaatannya berdasarkan rasa keadilan masyarakat (Indonesia), yang tidak diinginkan oleh sebagian masyarakat Indonesia adalah keadilan masyarakat dan negara Australia. Nilai kemanfaatan tersebut diketengahkan, melihat persoalan yang lebih besar yaitu hubungannya dengan negara Australia, dapat merusak hubungan dan harmonisasi di bidang-bidang lainnya. Hal ini nampak adanya kehendak lebih mendahului kebijakan Politik Luar Negeri bangsa Indonesia, dengan mengeyampingkan upaya pemerintah dan negara untuk melindungi seluruh tumpah darah bangsa Indonesia, sekaligus juga mengenyampingkan tujuan dari dibentuknya UU Narkotika yaitu mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika.
Semangat hukum dalam UU narkotika jelas dikemukakan bahwa Tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Peluang rentan adanya campur tangan, apalagi narkotika bersifat transnasional, negara dimana warga negaranya menjadi pelaku kejahatan pada negara lain. Sanksi untuk ini bagi Kepala Negara dan Negara lain tersebut untuk sementara belum ada, karena hukum negara masing-masing, ataupun peejanjian internasional belum ada.
Peraturan perundang-undangan tentang penjabaran lebih lanjut program dan kebijakan politik pemerintah dalam hal ini Presiden secara normatif telah mampu mengakomodir untuk kejahatan narkotika, antara lain dalam UU Narkotika itu sendiri, UU Peradilan Umum, bahwa priotitas penyidikan didahulukan termasuk Korupsi, Terorisme, oleh karena pelaku menyangkut warga negara Asing, maka sunguh naif pelaksanaan kepastian dapat memperoleh hasil maksimal, seperti kasus Corby, dan ditangkapnya pada bulan Mei 2012 ini pelaku membawa Heroin berwarga negara Inggris.
Pemberian Grasi oleh SBY kepada terhukum mati kasus narkoba Merika Franola atau Ola menjadi seumur hidup, dinilai banyak pihak adalah salah satu bukti keteledoran, kelalaian dan kegegabahan seorang Presiden. Entah karena hasutan para pembisik atau lebih karena pertimbangan politis, yang pasti penegakkan hukum di negeri ini semakin amburadul. Keputusan sembrono Presiden SBY tersebut manjadikan SBY Presiden Indonesia pertama yang memberi grasi atas terhukum mati kasus narkoba.
Keputusan pemberian grasi kepada Corby dan Ola memang tidak melanggar aturan hukum, karena dilakukan sesuai dengan prosedur berdasarkan permohonan dan telah mendapatkan pertimbangan dari MA. Dari sisi substansi keputusan itu pun tidak menabrak aturan hukum karena tidak ada larangan memberikan pengampunan kepada terpidana narkotika sebagai kejahatan serius yang bersifat transnasional dan terorganisasi.
Oleh sebab itu polemik ini dapat dipastikan tidak akan berkelanjutan hingga membuka kemungkinan impeachment karena tuduhan melanggar undang-undang. Kemungkinan terburuk hanyalah pembatalan grasi jika benar keputusan Presiden itu digugat di PTUN yang tentu saja harus melalui pemeriksaan persidangan dan adu argumentasi hukum seperti apakah Presiden pada saat mengeluarkan keputusan pemberian grasi dapat dikategorikan sebagai pejabat tata usaha Negara? Apakah pemohon yang bukan obyek keputusan memang dirugikan? Apakah Presiden benar-benar memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung sebelum memberi keputusan? Hingga apakah keputusan itu secara nalar wajar yang memang bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik?
Namun opini bahwa Presiden tidak konsisten tidak dapat dihindari karena di satu sisi menyatakan perang terhadap narkotika, tetapi di sisi lain memberikan potongan hukuman bagi terpidana narkotika. Opini hanya dapat ditangkis dengan penjelasan transparan fakta dan argumentasi yang melatari keputusan pemberian grasi itu.
Presiden harus menjelaskan kondisi kesehatan Corby yang sebenarnya sehingga atas dasar rasa kemanusiaan harus diberikan grasi. Kalaupun pemberian grasi adalah bagian dari diplomasi Internasional, setidaknya dengan Australia, pemerintah tidak perlu mengingkarinya. Justru harus dijelaskan potret besar dan manfaat yang akan diperoleh dari keputusan itu bagi bangsa Indonesia. Hanya demikian publik dapat diyakinkan bahwa keputusan itu lahir dari pertimbangan seksama yang cukup kuat untuk mengalahkan sifat serius kejahatan narkotika.
Jika ada penjelasan itu, ada dua kemungkinan. Pertama, keputusan itu memang lahir tanpa memperhatikan aspek kejahatan narkotika dan tanpa memikirkan dampak sosialnya. Atau kedua, Presiden dan para pembantunya memang peragu sehingga tidak memiliki kepercayaan diri mempertahankan keputusan yang telah diambil. Oleh karena itu solusi-solusi sebagai langkah perkembangan hukum kedepan yang menyangkut kejahatan transnasional di Indonesia sebagai berikut :
a.       Perlu adanya pengaturan yang rigid dalam Undang-undang Narkotika, tentang campur tangan pihak asing terhadap warga negaranya yang melakukan tindak pidana di Indonesia, khususnya kejahatan extra ordinary;
b.      Bila mana hal tersebut di abaikan, maka sanksi bagi pengambil keputusan telah menyalahi hak-hak asasi manusia Indonesia yakni nilai-nilai kepatutan dan kepantasan yang dikembangkan di Indonesia;
c.       Perlu dibatasi campur tangan bidang eksekutif pada bidang yudikatif, ataupun pertimbangan hukum grasi tidak hanya dimintakan Mahkamah Agung tetapi juga DPR RI.
d.      Perlu dibentuk Tim Pengkajian untuk mempertimbangkan permohonan Grasi sebelum minta pertimbangan Mahkamah Agung dan DPR RI.




-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


BAB III
PENUTUP

3.1        Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan dalam makalah yang berjudul Studi Kasus Ketika Presiden Menjadi Wakil Tuhan Dalam Pemberian Grasi Kepada Terpidana Narkoba, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.      Pengaturan Kewenangan Presiden dalam pemberian Grasi menurut Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi, dengan memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung. Pemberian Grasi yang menjadi hak prerogatif Presiden sebagai Kepala Negara, dalam menggunakan kewenangannnya dengan memperhatikan pertimbangan dari lembaga terkait yang memegang kekuasaan sesuai dengan wewenangnya. Dimaksudkan agar terjalin saling mengawasi dan saling mengimbangi antara Presiden dan kedua lembaga Negara tersebut dalam hal pelaksanaan tugas kenegaraan sesuai dengan prinsip Checks and Balances.
2.      Alasan pemberian Grasi dapat diberikan dengan mempertimbangkan keadaan terpidana yang sakit atau tidak mampu untuk menjalani pidana, terpidana yang berkelakuan baik selama berada di lembaga permasyarakatan, dimana terpidana yang diberikan Grasi tersebut memang dapat dipandang pantas untuk mendapatkan pengampunan. Presiden didalam memberikan keputusan atas suatu permohonan Grasi, mempertimbangkan secara arif dan bijaksana hal-hal yang terkait dengan tindak pidana yang telah dilakukan oleh terpidana. Sehingga Kriteria yang dijadikan petimbangan bagi Presiden dalam pemberian Grasi, juga berdasarkan atas pertimbangan-pertimbangan lain di luar hukum, seperti pertimbangan politik, termasuk yang menyangkut pertimbangan kemanusiaan, tetap menjunjung tinggi rasa keadilan dan kepastian hukum.
3.      Dilihat dari permasalahan tersebut, Presiden tentu saja sudah melakukan pertimbangan yang cukup matang untuk melaksanakan kewenangannya dalam memberikan Grasi. Karena Grasi bukan suatu bentuk proses yustisial karena tindakan ini tidak didasarkan pada pertimbangan hukum, tetapi pada pertimbangan kemanusiaan atau pertimbangan-pertimbangan lain di luar hukum seperti pertimbangan politik dan lain sebagainya. Namun, ada sisi kecerobohan yang dilakukan Presiden yang melenceng dari peraturan perundangan. Meskipun undang-undang tidak menentukan pertimbangan apa yang harus digunakan Presiden untuk memberikan Grasi, namun undang-undang menyebutkan bahwa Presiden memberikan Grasi dengan memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung. Akan tetapi karena pertimbangan yang diberikan oleh MA tidak ditindak lanjuti Presiden maka muncullah opini bahwa Presiden tidak konsisten.
3.2         Saran
Setelah membaca tulisan makalah ini diharapkan pembaca dapat berpikir jernih dan berimbang dengan mengkaitkan masalah pemberian grasi dengan hukum terkait agar tidak muncul opini-opini negatif terhadap setiap keputusan atau kebijakan pemerintahan, khususnya Keputusan Presiden. Dalam Negara demokrasi, polemik terhadap keputusan Presiden adalah hal yang biasa dan justru diperlukan sebagai sarana kontrol sekaligus pembelajaran baik bagi penyelenggara Negara maupun bagi masyarakat.
Baik buruknya suatu bangsa turut dipengaruhi oleh opini-opini yang terus dibangun oleh rakyatnya. Jadi, semua pendapat ataupun tindakan yang kita lakukan pada hakikatnya semua untuk bangsa Indonesia.




-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

DAFTAR PUSTAKA

[1]     Drs. H. A. Madjid Tawil, dkk. Penyalahgunaan Narkoba Dan Penanggulangannya. (BNP JATIM : Surabaya.2010)h.3.
[2]     M. Arief Hakim.op.cit. h.32
[3]     Ibid, h.49
[4]     Dr. C. Goerge Boeree, Dasar-Dasar Psikologi. (Ar-Ruzz Media:Yogyakarta, 2006) h.176.
[5]     Fajar, A.S., 2004, Pemanfaatan Serat Optik Sebagai Sensor Tekanan, Skripsi S-1, Jurusan Fisika FMIPA, Universitas Airlangga, Surabaya.
[6]     Soekatri Darmabrata dan D. F. Poerbatin, Kisi-Kisi Praktek Hukum Pidana, cet 2 (Jakarta : Sekretariat Konsorium Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 1999), hal. 156.
[7]     Utrecht, Hukum Pidana II, (Surabaya : Pustaka Tinta Mas, 1997) cet. 3, hal. 251.
[8]     J. E. Sahetapy, “Mekanisme Pengawasan Atas Hak-Hak Presiden”,       http://www.KomisiHukum.go.id/atice_Opinion_Php?mode=detil&id=16  diakses 27 November 2012.
[9]     Indonesia, (n) Undang-Undang Dasar 1945 Sebelum Amandemen, Ps 14.
[10]   Indonesia, (b) Undang-Undang Dasar 1945 Setelah Amandemen, Ps 5-13.
[11]   R. Soesilo, Hukum Acara Pidana Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana menurut Kitab   Undang-Undang Hukum Pidana bagi Penegak Hukum, cet. 1, (Bandung : PT. Karya Nusantara, 1982), hal. 137.
[12]   Utrecht, Hukum Pidana II, (Surabaya : Pustaka Tinta Mas, 1997) cet. 3, hal. 215.
[13]   Soetomo, Hukum Acara Pidana dalam Praktek, cet. 1 (tanpa tempat : Pustaka Kartini, 1990), hal.89.
[14]   Hasbullah F. Sjawie, “Lembaga Grasi Menurut Hukum Positif di Indonesia”, Varia Peradilan Tahun IX No. 102 (Maret 1994) : 147.
[15]   Ibnu Subarkah, SH., Mhum, Grasi WNA “Corby and Corby, Corby…”, Program Studi Ilmu Hukum Universitas Widya Gama Malang (Merdeka News, Edisi Juli 2012). http://widyagama.ac.id/hukum/wp-content/uploads/2012/02/GrasWNA-Ibnu.pdf, diakses 27 November 2012.
Harian Republika, Nomor 151, Edisi Senin/11 Juni 2012, http://www.scraperone.com/koran/republika_20120611.pdf, diakses 27 November 2012.
Kliping Humas Unpad, Harian Pikiran Rakyat, http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/pikiranrakyat-20120606-narkobadiindonesia.pdf, diakses 27 November 2012.
“Menanam budi” pada Bandar narkoba melalui grasi Presiden, http://newsgroups.derkeiler.com/Archive/Soc/soc.culture.indonesia/2012−11/msg00093.html, diakses 27 November 2012.
Majalah detik, Edisi 51, 19-25 November 2012, http://majalah.detik.com/cb/040752ddea5bfb214a5ee82cf7c98680/2012/20121119_MajalahDetik_51.pdf, diakses 27 November 2012.
Harian Media Indonesia, Kolom Pakar, Kontroversi Pemberian Grasi untuk Corby, Hal. 22, Edisi Senin/28 Mei 2012
Kliping berita peristiwa DPR RI dari beberapa harian surat kabar, Perpustakaan DPR RI, http://perpustakaandpr.files.wordpress.com/2012/05/20120524.pdf, diakses 27 November 2012.



Sekian tulisan ini saya buat. Kekurangan hanya milik penulis, oleh sebab itu masukan dari berbagai pihak sangat penulis harapkan untuk menyempurnakan tulisan ini. Terima kasih atas perhatiannya. Semoga sedikit ilmu yang saya peroleh dapat bermanfaat dan mudah dipahami.