Dalam kesempatan kali ini saya akan mencoba memberikan sedikit tulisan tentang kaitannya dengan kefalsafahan dalam kaitannya dengan berita terkini yang sedang berkembang. Dalam tulisan ini saya mencoba mengangkat topik ketika MANUSIA menjadi WAKIL TUHAN. Walau cuma sedikit yang bisa saya share semoga dapat bermanfaat. Sedikit tapi bermakna, Kecil tapi Luar Biasa.
Untuk mendownload sumber-sumber file dapat diperoleh dengan KLIK alamat di BAWAH ini :
Saya memang bukan orang yang pintar atau cerdas atau bahkan waaah ataupun Luar Biasa, tapi saya tahu ukuran kancing yang pas untuk baju saya.
Catatan :
Mohon maaf sebelumnya seyogyanya apabila ADA tulisan-tulisan yang jenengan cuplik dari sini saya dengan sangat mengharapkan untuk terbiasa menerapkan budaya MENCANTUMKAN sumber INI dalam daftar pustaka jenengan. Matur nuwun. HIDUP MAHASISWA...
--------------------------------------------------------------------------------------------------
STUDI KASUS
KETIKA PRESIDEN MENJADI WAKIL TUHAN
DALAM PEMBERIAN GRASI KEPADA TERPIDANA NARKOBA
MAKALAH
HERMAWAN PRABOWO
DEPARTEMEN FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2012
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
KETIKA PRESIDEN MENJADI WAKIL TUHAN
DALAM PEMBERIAN GRASI KEPADA TERPIDANA NARKOBA
MAKALAH
HERMAWAN PRABOWO
080810454
DEPARTEMEN FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2012
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat, hidayah dan
pertolongan-Nya, serta sholawat serta salam tertujukan kepada Nabi Muhammad SAW
yang telah memberikan tuntunan sehingga penyusunan makalah dengan judul “Studi Kasus Ketika Presiden Menjadi Wakil Tuhan Dalam Pemberian Grasi
Kepada Terpidana Narkoba” telah diselesaikan dengan harapan semoga
makalah ini bias bermanfaat dan menjadikan referensi bagi kita sehingga lebih
mengenal tentang apa itu grasi sekaligus bahaya apabila dalam penegakkan hukum
di Indonesia mendapat pengaruh mafia. Makalah ini juga disusun sebagai salah
satu syarat kelulusan pada Mata Kuliah Filsafat Ilmu dan Logika pada Program
Studi Fisika Departemen Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas
Airlangga..
Penulis
menyadari bahwa di dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
sebab itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan
demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberi
manfaat dan informasi ilmiah bagi Para Mahasiswa, Pelajar, Umum dan khususnya
pada diri saya sendiri dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Semua pembaca yang
membaca makalah ini semoga bisa dipergunakan dengan semestinya.
Surabaya, Desember 2012
Penulis
Hermawan Prabowo
---------------------------------------------------------------------------------------------------
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ....................................................................................... i
KATA PENGANTAR...................................................................................
ii
DAFTAR
ISI .............................................................................................. iii
BAB
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ....................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................. 8
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................... 9
1.4 Manfaat Penelitian....................................................................
9
BAB
II.. PEMBAHASAN
2.1 Narkoba
Dalam Presfektif Agama Islam ............................... 11
2.2 Perkembangan
Penerapan Grasi ........................................... 13
2.3 Pengertian
Grasi ................................................................... 14
2.4 Dasar Hukum Grasi .............................................................. 15
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ........................................................................... 23
3.2 Saran
.................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Sejak dahulu
Indonesia terkenal sebagai Negara yang memiliki segudang rempah-rempah. Banyak pedagang asing yang datang ke Indonesia
hanya untuk mendapatkan hasil rempah-rempah
secara langsung, seperti pala, cengkeh dan lada
langsung dari sumbernya. Sampai para pedagang yang semula hanya berdagang menjadi penjajah di Negara kita.
Setelah Indonesia
mengusir para kaum imperialis dan memproklamirkan kemerdekaan
Indonesia, maka terkenalnya Indonesia akan kaya rempah-rempah mulai berkurang. Dari waktu ke waktu rempah-rempah
yang seharusnya menjadi penyedap rasa,
sehingga menjadi barang yang membuat candu. Struktur tanah di Indonesia yang subur dan iklim yang pas untuk
tumbuhnya tanaman candu seperti ganja,
merupakan salah satu ciri bahwa sejak dulu narkoba jenis narkotika ini telah ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Beberapa area tanah
yang subur dan memadai untuk ditanami tanaman ganja
tersebut, telah disalahgunakan oleh beberapa oknum aparat Negara dan masyarakat dalam menumbuh suburkan tanaman
tersebut. Di Aceh, dana operasional Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) konon juga disuport dari lading-ladang ganja yang luas dan subur. Aceh merupakan satu
wilayah di Indonesia yang cocok ditanami
ganja, dan pasti tumbuh subur disana.
Penyalahgunaan narkotika dan psikotropika muncul di media
masa, baik di koran-koran, majalah, televisi, radio maupun internet. Bukan
rahasia umum jika masalah narkotika dan psikotropika
saat ini telah merasuki semua elemen bangsa. Pengedar dan pengguna narkoba bukan dari kelas
bawah, atau masyarakat biasa saja. Akan tetapi kini banyak ditemui beberapa
kasus para elit politik, anggota legislatif, para artis dan pejabat pemerintah, bahkan kalangan politisi dan penegak hukum juga tidak steril dari
penyalahgunaan narkotika dan psikotropika.
Ini adalah ironi
dimasa orde reformasi atau orde paling baru. Narkoba seperti layaknya gaya
hidup yang rupanya mampu menggoda para penggunanya seperti barang yang biasa.
Dalam era yang dikatakan lebih maju ini narkoba telah menjadi trend dan
komoditas menggiurkan.
Sehingga upaya pemberantasannya tidak cukup hanya ditangani
oleh pemerintah dan aparat penegak hukum saja melainkan perlu melibatkan
seluruh potensi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pencegahan dan
pemberantasan terhadap penyalahgunaan dan peredaran narkotika dan psikotropika.
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman
sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya
rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Narkotika dan psikotropika ibarat pedang bermata dua, disatu pihak sangat
dibutuhkan dalam dunia medis dan ilmu pengetahuan, dipihak lain
penyalahgunaannya sangat membahayakan masa depan generasi muda, ketentraman
masyarakat dan mengancam eksistensi ketahanan nasional suatu bangsa.
Dalam konsideran menimbang Undang-Undang No. 22 Tahun 1997
tentang Narkotika, dinyatakan bahwa mengimpor, mengekspor, memproduksi,
menggunakan narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat, serta
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah kejahatan
karena sangat merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan
manusia, masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional Indonesia.
Mengingat kejahatan narkotika telah bersifat transnasional
yang dilakukan dengan modus operandi yang tinggi dan teknologi canggih,
sehingga dalam penegakan hukumnya pun memerlukan suatu cara yang juga luar
biasa untuk mencegah dan memberantasnya.
Di samping masalah narkotika, hal yang tidak kalah mendesak
untuk segera dilakukan upaya penegakan hukumnya adalah kejahatan yang berkaitan
dengan psikotropika. Penyalahgunaan psikotropika dapat merugikan kehidupan
manusia dan kehidupan bangsa, sehingga pada gilirannya dapat mengancam
ketahanan nasional.
Perkembangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika
dan psikotropika telah menjadi permasalahan dunia yang tidak mengenal batas
negara, juga menjadi bahaya global yang mengancam kehidupan masyarakat, bangsa
dan negara dimana saja selain terorisme. Negara-negara maju dan Indonesia telah
menjadikan narkotika dan psikotropika dan terorisme sebagai musuh dunia yang
harus diperangi, dan bagi negara-negara yang tidak serius dalam menanggulangi
kedua masalah tersebut, akan dipandang sebagai penghambat bahkan dipandang
sebagai musuh yang harus diperangi juga.
Seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan pengaruh
negatif globalisasi, posisi Indonesia yang sangat strategis pada posisi silang
justru menjadi surga bagi sindikat perdagangan gelap narkotika dan
psikotropika. Hal ini disebabkan karena beberapa alasan, diantaranya: jumlah
penduduk yang banyak sangat potensial menjadi pasar peredaran, wilayah negara
yang terdiri dari kepulauan menyebabkan adanya kesulitan bagi aparat penegak
hukum untuk melakukan pengawasan. Saat ini narkotika dan psikotropika menjadi
masalah internasional yang sangat kompleks, rumit dan kronis, serta berkembang
sangat cepat diluar prediksi aparat keamanan, walaupun telah banyak kasus yang
berhasil diungkap.
Masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan
psikotropika di Indonesia menunjukkan adanya kecenderungan yang terus
meningkat, sudah sangat memprihatinkan dan membahayakan kehidupan masyarakat,
bangsa dan negara. Indonesia sebagai tempat transit dalam perdagangan dan
peredaran gelap narkotika dan psikotropika, tetapi telah menjadi tempat
pemasaran dan bahkan telah menjadi tempat untuk produksi gelap narkotika dan
psikotropika.
Pencegahan dan pemberantasan terhadap penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika dan psikotropika di Indonesia, memerlukan upaya
sinergis yang komprehensif multi dimensional, sehingga dapat mencapai hasil
yang maksimal. Upaya ini dilaksanakan secara bertahap, konsisten, dan
berkelanjutan, hingga mencapai kondisi Indonesia yang bebas dari penyalahgunaan
dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika.
Tindak pidana narkotika tidak lagi dilakukan secara
perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama,
bahkan merupakan suatu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas
yang bekerja secara rapih dan sangat rahasia baik ditingkat nasional maupun
internasional.
Secara diam-diam Presiden telah memberikan grasi kepada
tiga gembong narkoba yang terpidana hukuman mati. Pada 26 September 2011,
melalui Kepres Nomor : 35/G/2012, memberikan grasi kepada Deni Setia Maharwan
alias Rapi Mohammed Majid. Pada tahun 2012 terdapat dua kasus hukum yang
menjadi polemik. Selasa, 15 Mei 2012, Presiden mengeluarkan Keputusan Nomor 22G
Tahun 2012 yang mengabulkan permohonan grasi terpidana 20 tahun, Schapelle
Leigh Corby, warga Negara Australia yang tenar dengan sebutan ratu mariyuana.
Grasi itu berupa pemotongan pidana selama 5 tahun.
Dan yang paling heboh, 25 Januari 2012, Presiden SBY memberikan
grasi kepada terpidana mati kasus narkoba, Meirika Franola alias Ola, 42 tahun.
Ola diduga menjadi otak penyelundupan sabu seberat 775 gram dari India
ke Indonesia, melalui seorang kurir, NA, 40 tahun, dengan menumpang pesawat.
NA, seorang ibu rumah tangga, ditangkap petugas Badan Narkotika Nasional (BNN)
di Bandara Husein Sastranegara Bandung, Jawa Barat, pada 4 Oktober. Pada
Agustus 2000, Ola bersama dua sepupunya, Deni Setia Maharwa alias Rafi Muhammed
Majid dan Rani Andriani, divonis hukuman mati.
Vonis hukuman mati
yang dijatuhkan kepadanya berkekuatan hukum tetap setelah Mahkamah Agung menolak peninjauan
kembali kasusnya pada 27 Februari 2003. Mereka terbukti bersalah menyelundupkan
3,5 kg heroin dan 3 kg kokain melalui Bandara Soekarno-Hatta ke London pada 12
Januari 2000. Ola mendapatkan grasi dari Presiden sehingga hukuman mati yang
dijatuhkan kepadanya menjadi hukuman seumur hidup.
Keputusan itu pun melahirkan polemik dan menambah kritik
terhadap pemerintahan SBY. Grasi itu dikhawatirkan menjadi preseden buruk dan
berdampak terhadap terpidana narkotika lainnya. Ola yang masih mendekam di
Lembaga Pemasyarakatan Tangerang belakangan ditengarai terlibat lagi dan bahkan mengotaki peredaran
narkoba dengan jaringan dari luar negeri.
Berdasarkan Peraturan Presiden telah dibentuk sebuah
lembaga non struktural yaitu Badan Narkotika Nasional yang berkedudukan di
bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden bertujuan untuk lebih
mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Psikotropika. Adanya keputusan pemberian Grasi oleh Presiden
tersebut jelas bertentangan dengan tekad pemerintah dalam pemberantasan
Narkotika.
Beberapa ahli hukum ramai-ramai menyuarakan terdapat
kejanggalan atas pemberian keputusan mengabulkan permohonan grasi. Pemberian
grasi dinilai bertentangan dengan asas pengelolaan pemerintahan yang baik dan
pemerintah dinilai tidak peka terhadap perasaan keadilan masyarakat yang banyak
dicederai oleh peredaran dan penyalahgunaan narkotika, serta tidak konsisten
dalam melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan narkotika. Presiden sebagai
pemberi Keputusan grasi dinilai tidak cermat dalam mengambil keputusan. Banyak pihak menilai ada peran mafia narkoba
yang begitu kuat masuk dalam ranah pemberian grasi di lingkungan Istana.
Padahal untuk dapat memberantas kejahatan narkotika dan
psikotropika dibutuhkan materi hukum yang baik diantaranya adalah adanya
undang-undang yang mampu menampung penanganan setiap modus operandi pelaku yang
sangat pesat inovasinya, dan yang lebih penting adalah konsistensi aparat
penegak hukum dalam penegakan hukum terkait kejahatan narkotika dan
psikotropika. Nyatanya, undang-undang dan aparat penegak hukum bahkan hingga
tingkat Mahkamah Konstitusi pun dibuat tidak berdaya behitu hak prerogatif yang
dimiliki Presiden dikeluarkan. Lantas kepada siapa keadilan hukum di Negara ini
bisa kita peroleh? Kepada mafia hukum atau kepada siapa?
Saya masih ingat
pada sambutan peringatan Hari Narkoba Internasional tahun 2006, SBY dalam
pidatonya mengungkapkan “ Pemerintah tidak akan mengampuni narapidana
kasus narkoba, Saudara ketua Mahkamah Agung saya sendiri tentu memilih untuk
keselamatan bangsa dan Negara kita. Memilih keselamatan generasi kita, generasi
muda kita dibandingkan memberikan grasi kepada mereka yang menghancurkan masa
depan bangsa “.
“ Pemerintah “ kata
SBY menegaskan “ tidak akan memberi toleransi kepada para pembuat dan
pengedar narkoba. Pemerintah telah dan akan terus melakukan penegakan hukum
tanpa pandang bulu. Para pelaku kejahatan narkoba dengan segala bentuk dan
modus operandinya akan terus kita lawan dengan sekuat tenaga “.
Tujuh tahun sudah
Presiden mengucapkan kata-kata
yang ingin menyelamatkan bangsa dan Negara ini dari peredaran Narkoba yang
masuk ke Negara Indonesia yang dilakukan oleh gembong-gembong Narkoba dari luar
negeri. Tapi kok tiba tiba saja
dengan berdalih Hak Azasi Manusia (HAM) Presiden kita malah memberikan grasi
kepada para Bandar Narkoba. Dimana ucapan satria seorang Presiden dalam
melakukan pembelaan terhadap kerusakan bangsa dan Negara oleh pengaruh Narkoba
itu? Yang tragisnya terbongkarnya adanya grasi yang diberikan oleh Presiden
kepada gembong-gembong Narkoba itu bukan terungkap dari Istana, maupun dari
Presiden sendiri. Tapi melainkan terungkapnya adanya grasi yang diberikan oleh
Presiden adalah dari Mahkamah Agung dan Media Massa Australia.
Dalam Negara
demokrasi, polemik terhadap keputusan Presiden adalah hal yang biasa dan justru
diperlukan sebagai sarana kontrol sekaligus pembelajaran baik bagi
penyelenggara Negara maupun bagi masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut
tentu diperlukan pandangan jernih dan berimbang dengan mengkaitkan itu semua
dengan aturan hukum yang berlaku.
Berdasarkan
uraian yang dikemukakan pada latar belakang tersebut di atas, maka menarik
untuk dibahas dalam sebuah makalah yang berjudul: “Studi Kasus Ketika Presiden Menjadi Wakil Tuhan
Dalam Pemberian Grasi Kepada Terpidana Narkoba”.
1.2
Rumusan Masalah
Dari uraian pada latar belakang
permasalahan, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kewenangan Presiden dalam
pemberian Grasi?
2.
Apakah alasan Presiden
memberikan Grasi?
3.
Apakah Presiden sudah
melakukan pertimbangan yang cukup matang untuk melaksanakan kewenangannya dalam
memberikan Grasi?
1.3
Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah tersebut di atas penulisan makalah ini bertujuan sebagai berikut :
1. Mampu memaparkan kewenangan Presiden dalam memberikan grasi
dengan memperhatikan pertimbangan dari lembaga hukum terkait .
2. Memberikan pandangan jernih dan berimbang dengan
mengkaitkan kriteria pemberian grasi dengan aturan hukum yang berlaku .
3. Memberikan pandangan tentang
pertimbangan-pertimbangan yang diterima Presiden dalam membuat keputusan.
1.4
Manfaat
Penelitian
Disamping
tujuan sebagaimana telah diuraikan di atas, penulisan makalah ini diharapkan
dapat memberikan manfaat yang optimal. Apakah itu sebagai sumbangan pemikiran
teoritis maupun manfaat secara praktis berkenaan dengan masalah penegakan hukum
dan keadilan dalam kaitannya dengan pemberian grasi oleh Presiden kepada
terpidana mati kasus narkoba.
1. Segi teoritis, makalah ini diharapkan akan
bermanfaat untuk :
- Studi
hukum tentang hubungan penerapan hukuman dengan masalah hak asasi manusia.
- Sebagai
informasi bagi para peneliti yang merupakan wahana paling efektif untuk
mengkaji, menguji dan menerapkan teori-teori yang didapatkan, kemudian
dianalisis dengan kenyataan yang terjadi.
- Bagi
ilmu pengetahuan diharapkan makalah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi mereka
yang ingin mengadakan penelitian lanjutan dari makalah ini.
2. Segi praktis, makalah ini diharapkan dapat
bermanfaat sebagai masukan untuk :
Memberikan masukan dan menjadi suatu dorongan bagi aparat
penegak hukum agar dapat menerapkan hukum dalam hal ini pemberian grasi kepada
terpidana mati agar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dengan memperhatikan prinsip-prinsip keadilan, kemanfaatan, dan
kepastian hukum.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
BAB II
PEMBAHASAN
Pada bab
ini akan dijelaskan teori dan konsep yang mendukung tulisan makalah ini, diantaranya tentang pengertian narkoba, grasi serta teori-teori
pendukung lain yang diperlukan.
2.1
Narkoba
Dalam Presfektif Agama Islam
Narkoba
singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan bahan-bahan adiktif. Sedangkan
secara istilah narkoba adalah obat, bahan, atau zat dan bukan tergolong makanan
jika diminum, diisap, dihirup, ditelan atau disuntikkan, bepengaruh terutama
pada kerja otak dan sering menyebabkan ketergantungan [1]. Akibatnya kerja otak
berubah meningkat atau menurun demikian pula fungsi organ tubuh lain. Makanya
narkoba tergolong racun bagi tubuh, jika digunakan tidak sebagaimana mestinya.
Agama-agama
besar dunia ternyata lahir tidak jauh dari sumber penghasil bahan yang sekarang
digolongkan sebagai narkotika. Tiga abad sebelum Nabi Isa lahir, opium sudah
dipergunakan sebagai obat di Mesir, bahkan dijadikan lambing mata uang. Di
Mesir opmium sebagai obat penenang atau obat tidur.
Sementara
itu di Asia pada abad kelima Masehi, untuk meraih kesenangan dan kegembiraan
mereka mengkomsumsi ganja. Dalam lintas budaya ganja mampu mengubah budaya
suatu bangsa, hal ini terjadi dan menyebar ke Afrika sampai India [2].
Allah
menciptaan bumi dan seisinya ini untuk manusia. Bukan berarti manusia bisa
bebas berbuat sesuatu semau mereka. Akan tetapi ada aturan dan batasan
tertentu, sehingga akan terjadi kesinambungan di lingkungan maupun masyarakat.
Seorang bisa dikatakan bertaqwa kepada Allah jika manusia tersebut menjalankan
perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya.
Narkoba
termasuk salah satu yang diharamkan dalam agama. Sifat narkoba yang membuat
ketergantungan dan memabukkan menjadi alas an mengapa narkoba diharamkan. Maka
harus menjauhinya sejauh mungkin. Manusia secara khusus para pelajar dan
mahasiswa dituntut untuk mengetahui narkoba secara lengkap agar mampu
menghindar dari dampak buruk narkoba.
Orang
yang berpikir, kalau akalnya sehat. Penemuan-penemuan yang hebat berasal dari
kerja otak manusia yang berfikir secara sehat, semua itu adalah karunia dari
Allah. Maka dari itu manusia dituntut agar menjaga akal mereka. Dengan demikian
manusia mampu berfikir dan memakmurkan bumi ini. Sebagaimana telah
ditanggungkan kepada manusia bahwa mereka sebagai khalifah di bumi.
Salah
satu cara memelihara akal adalah dengan menjauhi narkoba atau minuman keras.
Jika hal itu dilanggar maka didalam Islam akan dikenai sanksi yakni berupa
hukuman 40 cambuk. Malah khalifah Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib
menghukumnya lebih berat, yaitu dengan 80 cambukan [3].
Pengguna
narkoba dalam pandangan illmu psikologi dasar, seperti yang ditulis oleh Dr. C.
Goerge Boeree. Jika ketidakpatuhan terhadap norma dianggap normal, maka
ketidakpatuhan sebenarnya adalah ketidak mampuan individu terhadap situasi atau
kondisi tertentu [4].
2.2
Perkembangan Penerapan
Grasi
Sejak dulu, grasi telah dikenal dan dipraktekkan oleh para Kaisar atau
Raja pada masa monarki absolute. Kaisar atau Raja dianggap sebagai sumber dari
segala kekuasaan termasuk di dalamnya kekuasaan dibidang peradilan. Grasi
adalah suatu tindak pengampunan yang didasarkan atas kemurahan hati Raja yang
mempunyai kekuasaan absolute. Dengan demikian, grasi dianggap sebagai suatu
anugerah Raja (vorstelijke gunst), yaitu anugerah Raja yang telah sudi
mengampuni yang terhukum.
Dasar pembenar kekuasaan Raja yang memerintah secara absolute. Salah
satunya adalah teori teokrasi atau ketuhanan. Pada jaman Yunani, homerus
menyatakan bahwa hukum terjelma dalam Themistis
dan diterima oleh para Raja dari Dewa Zeus sehingga sumber saklar dari segala
keadilan duniawi yang berdasarkan adat dan tradisi [6]. Demikian pula pada
jaman Romawi, Ulpianus dengan teori Lex
Regia mengemukakan bahwa, pemerintah diserahkan kepada seorang Raja, karena
Raja adalah wakil Tuhan dengan persetujuan rakyat.
Sifat grasi seperti diutarakan di atas kemudian mengalami perubahan.
Sifat grasi menjadi lebih bersifat satu korelasi atas keputusan hakim, yaitu
suatu korelasi yang diadakan berdasarkan alas an-alasan yang diketahui sesudah
hakim memutuskan perkara yang bersangkutan [7]. Hal ini merupakan pengaruh dari ajaran-ajaran para ahli hukum, misalnya
John Locke, Montesquieu, Thomas Hobbes, J.J. Rousseau di Eropa pada abad ke-17
dan ke-18.
Di Indonesia, pengaturan mengenai prosedur permohonan grasi sudah ada
sejak jaman Hindia Belanda. Pada masa tersebut dikenal adanya Gratie Regeling yang diatur dalam Stbld.
1993 Nomor 2 [8].
Setelah
Indonesia merdeka, ketentuan mengenai grasi diatur dalam Undang-Undang Dasar
1945 Pasal 14 dalam Bab Ketiga berbunyi : “Presiden memberii grasi, amnesty,
abolisi dan rehabilitasi” [9]. Kemudian seiring berjalannya waktu Undang-Undang
yang lama diganti dengan Undang-Undang yang baru, yang bertujuan untuk
mengadakan penyesuaian pengaturan mengenai grasi. Sampai pada akhirnya pada
tanggal 24 September 2002 Rancangan Undang-Undang Grasi disahkan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menjadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002
tentang Grasi [10]. Undang-Undang inilah yang menjadi dasar hukum positif
pengaturan grasi di Indonesia sekarang.
2.3
Pengertian Grasi
Ditinjau dari sudut bahasa, kata “grasi” berasal dari bahasa latin, yaitu
kata gratia yang berarti pengampunan.
Grasi dikenal dalam seluruh sistem hukum di seluruh dunia. Di Belgia grasi
dikenal dengan istilah genade [8].
R. Soesilo memberiikan pendapat mengenai
grasi sebagai berikut :
“Pemberian grasi merupakan salah
satu dari wewenang prerogatif Kepala Negara untuk membatalkan seluruhnya atau
sebagaian pidana yang telah dijatuhkan atau untuk merubah pidana itu menjadi
suatu pidana yang lebih ringan sifatnya (lebih berat tidak dimungkinkan)” [11].
Definisi yang diberikan oleh Utrecht
yaitu “menggugurkan hukuman atau sebagian hukuman [12]. Sedangkan menurut
pendapat Soetomo, “Grasi merupakan pengampunan dari Presiden kepada terpidana”
[13].
Dari berbagai pengertian di atas
dapat disimpulkan bahwa grasi tidak menghilangkan unsur kesalahan (schuld) yang
melekat pada putusan hakim. Unsur kesalahan dalam putusan hakim itu tetap ada,
namun pelaksanaan putusan tersebut dihilangkan atau dikurangi atau jenis
hukumannya diubah.
2.4
Dasar Hukum Grasi
Pelaksanaan
hukum akhir-akhir ini menimbulkan masalah pada tingkat ketahanan bagi Presiden.
Suatu realisasi mempertahankan hak bagi terpidana dipertaruhkan pada tingkat
tersebut. Hak konstitusional tersebut berdasar pada Undang-undang Grasi dan
perubahannya, terhadap terpidana mati, seumur hidup, dan terpidana paling
rendah 2 (dua) tahun), dan hak tersebut tergantung padam terpidana, keluarga
kandung serta kuasa hukumnya untuk dapat dimohon grasi melalui prosedural
menteri yang mengatur masalah itu.
Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang menganut sistem Pemerintahan
Presidensil. Dalam sistem Pemerintahan Presidensil ini terdapat hak prerogatif
yang dimiliki oleh seorang Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala
Pemerintahan. Salah satu hak prerogatif tersebut ada pada kewenangan dalam
pemberian Grasi yang tidak bersifat absolut.
Pemberian
Grasi oleh Presiden kepada terpidana perlu dibatasi, seperti yang diatur di
dalam Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia bahwa,
“Presiden memberi Grasi dan Rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan dari
Mahkamah Agung.” Hal ini juga Berkaitan dengan prinsip Checks and Balances serta
hubungan kewenangan antara Presiden dan lembaga negara lainnya, mengenai
pemberian Grasi yang semula menjadi hak prerogatif Presiden sebagai Kepala
Negara, dalam menggunakan kewenangannya dengan memperhatikan pertimbangan dari
lembaga negara lain yang memegang kekuasaan sesuai dengan wewenangnya.
Pengaturan
Kewenangan Presiden dalam pemberikan Grasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang
Grasi dengan memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung, Kewenangan
Presiden dalam pemberian Grasi perlu memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah
Agung sebagai lembaga yudikatif, agar terjalin saling mengawasi dan saling
mengimbangi antara Presiden dan kedua lembaga negara tersebut dalam hal
pelaksanaan tugas kenegaraan. Sehingga dengan adanya peran serta pertimbangan
Mahkamah Agung kepada Presiden dalam pemberian Grasi, memberikan batasan kepada
Presiden dalam mengunakan kekuasaannnya, sehingga dapat menghindari pemberian
Grasi yang berlebihan kepada pelaku kejahatan yang berat.
Kriteria
yang dijadikan pertimbangan bagi Presiden dalam pemberian Grasi dan implikasi
hukumnya, pertimbangan yang diberikan Presiden berdasarkan atas
pertimbangan-pertimbangan lain diluar hukum, termasuk yang menyangkut
pertimbangan kemanusiaan dan tetap menjunjung tinggi rasa keadilan dan
kepastian hukum.
Pasal
1 ayat 1 bab I Ketentuan Umum Undang-undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi,
sebagaimana telah dirubah menjadi UU No. 5 Tahun 2010 menegaskan grasi adalah
pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan
pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden [14]. Undang-undang
Mahkamah Agung ditekankan bahwa Mahkamah Agung memberiikan pertimbangan hukum
kepada Presiden dalam permohonan grasi dan rehabilitasi. Konstitusi kita Undang
Undang Dasar NKRI Tahun 1945 menekankan bahwa Presiden memberi grasi dan
rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
Dalam
melaksanakan kehendak tersebut dikatakan Presiden dibantu oleh menteri-menteri
negara, yang tentunya dalam hal ini menteri yang berhubungan dengan urusan
Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kecuali putusan pidana mati, yang tidak menunda
pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana dan putusan tersebut telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Pemberian grasi oleh Presiden dapat berupa
peringanan atau perubahan jenis pidana; pengurangan jumlah pidana; atau
penghapusan pelaksanaan pidana. Kasus yang berkaitan dengan masalah grasi,
sebagaimana terjadi pada subjek pelaku Corby, warga negara Australia,
ditengarai membuat masyarakat, dan para penegak hukum menyampaikan pendapat dan
masukan kepada akhir dari peradilan pidana di Indonesia.
Secara
yuridis, akhir dari perjalanan Corby, dalam kacamata peradilan pidana tidak
dapat dipersalahkan. Hakim telah memutus salah dan diancam seberat-beratnya.
Akan tetapi diluar kehendak hukum, dimana Corby mendapat Grasi yang terkabulkan
dengan pengurangan jumlah pidana 5 tahun. Hal ini berdampak bahwa secara
sosiologis dan filosofis terhadap Sistem Peradilan Pidana itu sendiri, dan
penanggulangan kejahatan narkotika tersebut. Pertanyaan yang harus dijawab
adalah mengapa demikian, dan mengapa terjadi putusan Grasi, seberapa jauh
pengaruhnya terhadap peradilan pidana?
Secara
yuridis, campur tangan dalam urusan peradilan di luar kekuasaan kehakiman
adalah dilarang. Hanya dikecualikan yakni campur tangan sebagaimana disediakan
oleh UUD NKRI Tahun 1945. Begitu bunyi dari Pasal 3 ayat 2 UU No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman. Campur tangan tersebut kiranya berdasar hukum dan
konstitusional yakni hak prerogatif ditangan Presiden berupa pemberian Grasi
dan rehabilitasi. Seperti yang pernah disampaikan para cendikiawan hukum bahwa
tujuan hukum adalah kepastian, keadilan dan kemanfaatan [15].
Dalam
kasus Grasi Corby, kepastian hukum, dan keadilan hukum (normatif) telah
dilaksanakan, namun hal ini sangat berpolemik bila ditarik kearah seberapa jauh
kemanfaatannya berdasarkan rasa keadilan masyarakat (Indonesia), yang tidak
diinginkan oleh sebagian masyarakat Indonesia adalah keadilan masyarakat dan
negara Australia. Nilai kemanfaatan tersebut diketengahkan, melihat persoalan
yang lebih besar yaitu hubungannya dengan negara Australia, dapat merusak
hubungan dan harmonisasi di bidang-bidang lainnya. Hal ini nampak adanya
kehendak lebih mendahului kebijakan Politik Luar Negeri bangsa Indonesia,
dengan mengeyampingkan upaya pemerintah dan negara untuk melindungi seluruh
tumpah darah bangsa Indonesia, sekaligus juga mengenyampingkan tujuan dari
dibentuknya UU Narkotika yaitu mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa
Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika.
Semangat
hukum dalam UU narkotika jelas dikemukakan bahwa Tindak pidana Narkotika telah
bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang
tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan
sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang
sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Peluang rentan
adanya campur tangan, apalagi narkotika bersifat transnasional, negara dimana
warga negaranya menjadi pelaku kejahatan pada negara lain. Sanksi untuk ini
bagi Kepala Negara dan Negara lain tersebut untuk sementara belum ada, karena
hukum negara masing-masing, ataupun peejanjian internasional belum ada.
Peraturan
perundang-undangan tentang penjabaran lebih lanjut program dan kebijakan
politik pemerintah dalam hal ini Presiden secara normatif telah mampu
mengakomodir untuk kejahatan narkotika, antara lain dalam UU Narkotika itu
sendiri, UU Peradilan Umum, bahwa priotitas penyidikan didahulukan termasuk
Korupsi, Terorisme, oleh karena pelaku menyangkut warga negara Asing, maka
sunguh naif pelaksanaan kepastian dapat memperoleh hasil maksimal, seperti
kasus Corby, dan ditangkapnya pada bulan Mei 2012 ini pelaku membawa Heroin
berwarga negara Inggris.
Pemberian
Grasi oleh SBY kepada terhukum mati kasus narkoba Merika Franola atau Ola
menjadi seumur hidup, dinilai banyak pihak adalah salah satu bukti keteledoran,
kelalaian dan kegegabahan seorang Presiden. Entah karena hasutan para pembisik
atau lebih karena pertimbangan politis, yang pasti penegakkan hukum di negeri
ini semakin amburadul. Keputusan sembrono Presiden SBY tersebut manjadikan SBY
Presiden Indonesia pertama yang memberi grasi atas terhukum mati kasus narkoba.
Keputusan
pemberian grasi kepada Corby dan Ola memang tidak melanggar aturan hukum,
karena dilakukan sesuai dengan prosedur berdasarkan permohonan dan telah
mendapatkan pertimbangan dari MA. Dari sisi substansi keputusan itu pun tidak
menabrak aturan hukum karena tidak ada larangan memberikan pengampunan kepada
terpidana narkotika sebagai kejahatan serius yang bersifat transnasional dan
terorganisasi.
Oleh
sebab itu polemik ini dapat dipastikan tidak akan berkelanjutan hingga membuka
kemungkinan impeachment karena
tuduhan melanggar undang-undang. Kemungkinan terburuk hanyalah pembatalan grasi
jika benar keputusan Presiden itu digugat di PTUN yang tentu saja harus melalui
pemeriksaan persidangan dan adu argumentasi hukum seperti apakah Presiden pada
saat mengeluarkan keputusan pemberian grasi dapat dikategorikan sebagai pejabat
tata usaha Negara? Apakah pemohon yang bukan obyek keputusan memang dirugikan?
Apakah Presiden benar-benar memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung
sebelum memberi keputusan? Hingga apakah keputusan itu secara nalar wajar yang
memang bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik?
Namun
opini bahwa Presiden tidak konsisten tidak dapat dihindari karena di satu sisi
menyatakan perang terhadap narkotika, tetapi di sisi lain memberikan potongan
hukuman bagi terpidana narkotika. Opini hanya dapat ditangkis dengan penjelasan
transparan fakta dan argumentasi yang melatari keputusan pemberian grasi itu.
Presiden
harus menjelaskan kondisi kesehatan Corby yang sebenarnya sehingga atas dasar
rasa kemanusiaan harus diberikan grasi. Kalaupun pemberian grasi adalah bagian
dari diplomasi Internasional, setidaknya dengan Australia, pemerintah tidak
perlu mengingkarinya. Justru harus dijelaskan potret besar dan manfaat yang
akan diperoleh dari keputusan itu bagi bangsa Indonesia. Hanya demikian publik
dapat diyakinkan bahwa keputusan itu lahir dari pertimbangan seksama yang cukup
kuat untuk mengalahkan sifat serius kejahatan narkotika.
Jika
ada penjelasan itu, ada dua kemungkinan. Pertama, keputusan itu memang lahir
tanpa memperhatikan aspek kejahatan narkotika dan tanpa memikirkan dampak
sosialnya. Atau kedua, Presiden dan para pembantunya memang peragu sehingga
tidak memiliki kepercayaan diri mempertahankan keputusan yang telah diambil. Oleh
karena itu solusi-solusi sebagai langkah perkembangan hukum kedepan yang
menyangkut kejahatan transnasional di Indonesia sebagai berikut :
a. Perlu
adanya pengaturan yang rigid dalam Undang-undang Narkotika, tentang campur
tangan pihak asing terhadap warga negaranya yang melakukan tindak pidana di
Indonesia, khususnya kejahatan extra
ordinary;
b. Bila
mana hal tersebut di abaikan, maka sanksi bagi pengambil keputusan telah
menyalahi hak-hak asasi manusia Indonesia yakni nilai-nilai kepatutan dan
kepantasan yang dikembangkan di Indonesia;
c. Perlu
dibatasi campur tangan bidang eksekutif pada bidang yudikatif, ataupun
pertimbangan hukum grasi tidak hanya dimintakan Mahkamah Agung tetapi juga DPR
RI.
d. Perlu
dibentuk Tim Pengkajian untuk mempertimbangkan permohonan Grasi sebelum minta
pertimbangan Mahkamah Agung dan DPR RI.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan dalam makalah yang berjudul “Studi Kasus Ketika Presiden Menjadi Wakil Tuhan Dalam Pemberian Grasi
Kepada Terpidana Narkoba”, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.
Pengaturan Kewenangan
Presiden dalam pemberian Grasi menurut Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2010
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi, dengan
memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung. Pemberian Grasi yang menjadi
hak prerogatif Presiden sebagai Kepala Negara, dalam menggunakan kewenangannnya
dengan memperhatikan pertimbangan dari lembaga terkait yang memegang kekuasaan
sesuai dengan wewenangnya. Dimaksudkan agar terjalin saling mengawasi dan
saling mengimbangi antara Presiden dan kedua lembaga Negara tersebut dalam hal
pelaksanaan tugas kenegaraan sesuai dengan prinsip Checks and Balances.
2.
Alasan pemberian Grasi
dapat diberikan dengan mempertimbangkan keadaan terpidana yang sakit atau tidak
mampu untuk menjalani pidana, terpidana yang berkelakuan baik selama berada di
lembaga permasyarakatan, dimana terpidana yang diberikan Grasi tersebut memang
dapat dipandang pantas untuk mendapatkan pengampunan. Presiden didalam
memberikan keputusan atas suatu permohonan Grasi, mempertimbangkan secara arif
dan bijaksana hal-hal yang terkait dengan tindak pidana yang telah dilakukan
oleh terpidana. Sehingga Kriteria yang dijadikan petimbangan bagi Presiden
dalam pemberian Grasi, juga berdasarkan atas pertimbangan-pertimbangan lain di
luar hukum, seperti pertimbangan politik, termasuk yang menyangkut pertimbangan
kemanusiaan, tetap menjunjung tinggi rasa keadilan dan kepastian hukum.
3.
Dilihat dari
permasalahan tersebut, Presiden tentu saja sudah melakukan pertimbangan yang cukup
matang untuk melaksanakan kewenangannya dalam memberikan Grasi. Karena Grasi
bukan suatu bentuk proses yustisial karena tindakan ini tidak didasarkan pada
pertimbangan hukum, tetapi pada pertimbangan kemanusiaan atau
pertimbangan-pertimbangan lain di luar hukum seperti pertimbangan politik dan
lain sebagainya. Namun, ada sisi kecerobohan yang dilakukan Presiden yang
melenceng dari peraturan perundangan. Meskipun undang-undang tidak menentukan
pertimbangan apa yang harus digunakan Presiden untuk memberikan Grasi, namun
undang-undang menyebutkan bahwa Presiden memberikan Grasi dengan memperhatikan
pertimbangan dari Mahkamah Agung. Akan tetapi karena pertimbangan yang
diberikan oleh MA tidak ditindak lanjuti Presiden maka muncullah opini bahwa
Presiden tidak konsisten.
3.2
Saran
Setelah membaca tulisan makalah ini diharapkan
pembaca dapat berpikir jernih dan berimbang dengan mengkaitkan masalah
pemberian grasi dengan hukum terkait agar tidak muncul opini-opini negatif
terhadap setiap keputusan atau kebijakan pemerintahan, khususnya Keputusan
Presiden. Dalam Negara demokrasi, polemik terhadap
keputusan Presiden adalah hal yang biasa dan justru diperlukan sebagai sarana
kontrol sekaligus pembelajaran baik bagi penyelenggara Negara maupun bagi
masyarakat.
Baik
buruknya suatu bangsa turut dipengaruhi oleh opini-opini yang terus dibangun
oleh rakyatnya. Jadi, semua pendapat ataupun tindakan yang kita lakukan pada
hakikatnya semua untuk bangsa Indonesia.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
DAFTAR
PUSTAKA
[1] Drs. H. A. Madjid
Tawil, dkk. Penyalahgunaan Narkoba Dan Penanggulangannya. (BNP JATIM : Surabaya.2010)h.3.
[2] M. Arief Hakim.op.cit. h.32
[3] Ibid,
h.49
[4] Dr. C. Goerge Boeree, Dasar-Dasar
Psikologi. (Ar-Ruzz Media:Yogyakarta, 2006) h.176.
[5] Fajar, A.S., 2004, Pemanfaatan
Serat Optik Sebagai Sensor Tekanan, Skripsi S-1, Jurusan Fisika FMIPA,
Universitas Airlangga, Surabaya.
[6] Soekatri
Darmabrata dan D. F. Poerbatin, Kisi-Kisi
Praktek Hukum Pidana, cet 2 (Jakarta : Sekretariat Konsorium Ilmu Hukum
Universitas Indonesia, 1999), hal. 156.
[7] Utrecht, Hukum
Pidana II, (Surabaya : Pustaka Tinta Mas, 1997) cet. 3, hal. 251.
[9] Indonesia, (n) Undang-Undang Dasar 1945 Sebelum Amandemen,
Ps 14.
[10] Indonesia, (b) Undang-Undang Dasar 1945 Setelah Amandemen, Ps 5-13.
[11] R. Soesilo,
Hukum Acara Pidana Prosedur Penyelesaian
Perkara Pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bagi Penegak Hukum,
cet. 1, (Bandung : PT. Karya Nusantara, 1982), hal. 137.
[12] Utrecht,
Hukum Pidana II, (Surabaya : Pustaka
Tinta Mas, 1997) cet. 3, hal. 215.
[13] Soetomo, Hukum
Acara Pidana dalam Praktek, cet. 1 (tanpa tempat : Pustaka Kartini, 1990),
hal.89.
[14] Hasbullah
F. Sjawie, “Lembaga Grasi Menurut Hukum Positif
di Indonesia”, Varia Peradilan Tahun IX No. 102 (Maret 1994) : 147.
Harian Media Indonesia,
Kolom Pakar, Kontroversi Pemberian Grasi
untuk Corby, Hal. 22, Edisi Senin/28 Mei 2012
Sekian tulisan ini saya buat. Kekurangan hanya milik penulis, oleh sebab itu masukan dari berbagai pihak sangat penulis harapkan untuk menyempurnakan tulisan ini. Terima kasih atas perhatiannya. Semoga sedikit ilmu yang saya peroleh dapat bermanfaat dan mudah dipahami.